Indonesia-KU
AHOK: PEMIMPIN NON-MUSLIM DALAM PERSPEKTIF IBNU TAIMIYAH
A.
Latar
Belakang
Agama
dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling
menguatkan antara satu dengan yang lain. Menurut salah satu tokoh yang terkenal
di lingkungan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang merupakan kalangan dari NU Dr.
Malik Madani bahwa Agama merupakan sebuah dasar dan Negara merupakan penjaga.
Upaya manusia untuk merealisasikan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
indvidu dan sosial secara sempurna maka manusia membentuk suatu persekutuan
hidup dalam satu wilayah tertentu serta memiliki suatu tujuan tertentu.
Sehingga terbentuklah bangsa yang memiliki tujuan tertentu maka pengertian ini
disebut sebagai negara.[1]
Agama
merupakan hal yang penting utuk mendukung proses pemerintahan dalam hal ini demokrasi
agar segala bentuk kekuasaan, baik kekuasaan politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan dan termasuk kekuasaan spiritual keagamaan bisa tetap merupakan
kekuatan yang bisa dikontrol oleh kepentingan orang banyak, dan benar-benar
mampu menjadi kekuatan yang transformatif dan memberikan berkah bagi seluruh
warga masyarakat.[2]
Permasalahan
mengenai kelompok yang bersikeras untuk menegakkan khalifah untuk menggantikan
demokrasi sudah mulai meredam. Mengingat bahwa ormas-ormas besar Islam telah
menyepakati bahwa Islam tidak pernah menuntut bentuk negara dan sistem negara
tertentu seperti yang diungkapkan dalam forum seminar Nasional “Islam,
Perdamaian dan NKRI” oleh beberapa tokoh dari ormas dan mazhab yang berbeda,
sehingga kelompok tersebut mulai tenggelam walaupun masih ada sebagian kecil.
Karena tidak ada jaminan bahwa khilafah akan menyelesaikan permasalahan di
Indonesia.
Indonesia
dengan pancasilanya merupakan sesuatu yang telah dibentuk sejak lama, kemudian
langkah seterusnya yang menjadi perdebatan adalah langkah menjadi negara yang
baik. Sehingga dalam penentuan atau pemilihan sering terjadi perdebatan antara
kelompok yang satu dengan kelompok yang dikarenakan perbedaan cara melihat
sosok pemimpin yang.
Indonesia
dewasa ini tenggelam dengan menilai sesuatu hanya dengan simbiolik bukan dengan
substantif. Kasus yang menggambarkan hal tersebut adalah Gubernur DKI Jakarta
yang akrab dengan nama Ahok, masyarakat indonesia banyak menentangnya khususnya
orang Islam karena Ia beragama Kristen dengan berdalasan ayat al-Qur’an.[3]
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ
مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي
شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ
وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ.
“Janganlah
orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan
meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.
Oleh
karena itu yang seharusnya yang menjadi patokan adalah Islam substansi bukan
simbolik, karena dalam kenyataanya Ahok perupakan pemerintah yang baik, adil,
berani, dan jujur yang hal tersebut jarang didapatkan dalam pemimpin yang
beragama Islam. Sebenarnya letak masalah bukan pemimpin tersebut beragama apa,
akan tetapi bagaimana cara memimpin seorang pemimpin, karena dalam kenyataanya
Ahok banyak disukai dan didukung oleh masyarakat baik itu non-muslim atau
muslim.
Sehingga
dalam makalah ini kami berusaha menjelaskan sosok pemimpin yang baik dan ideal
menggunakan pandangan Ibnu Taimiyah, kemudian menilai sosok Ahok sebagai tokoh
pemimpin yang mengalami banyak kontroversi. Ibnu Taimiyah mengkhatirkan sosok
pemimpun, karena untuk mencapai suatu kekompakan perlu adanya kerja sama antar
individu, dalam kerja sama tersebut dibutuhkan seorang nahkoda untuk memimpin
suatu kelompok sehingga tidak bercerai berai. Jika pemimpinnya rusak niscaya
rusak juga apa yang dipimpinnya.[4] Ibnu Taimiyah seorang salaf yang dikenal
sebagai ahli hadis yang puritan dan fundamentalis dan dijuluki oleh Ignaz
Goldzehir sebagai ulama terkemuka abd ke 7 H.[5]
B.
Rumusan
Masalah
Setelah
mengetahui apa yang menjadi latar belakang makalah ini , maka dapat disimpulkan
hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana
pra dan kontra dalam memilih pemimpin non-muslim menurut Islam?
2.
Bagaiaman
konsep pemimpin ideal menurut Ibnu Taimiyah?
3.
Bagaimana
Analisis penulis mengenai “Interpretasi Pemikiran Ibnu Taimiyah terhadap
Ahok”?
PEMBAHASAN
A.
Pra
dan kontra pemimpin non-muslim
Jika
agama di konstruksi terutama oleh pemegang kekuasaan sabagai “pencerah”, maka
agama akan berfungsi menopang, menyediakan jalan, motivasi dan bahkan juga
transendensi ke arah demokratisasi. Namun konstruk si agama, khususnya oleh
penguasa, ternyata tidak selalu berkait dengan proyek “pencerahan” maupun
demokratisasi. Dalam hal ini bisa juga berkaitan dengan upaya penyelenggaraan
kuasa di wibawa “sang pangeran” di mata masayarakat. Agama boleh jadi menjadi
sumber spiritualitas dan kesalehan individual, tetapi jangan sampai merambah
menjadi sumber kesalehan sosial. Ekonomi apalagi politik.
Dengan
tetap mengijinkan praktek agama sebagai kekuatan private atau kesalehan
individu menjadikan “sang pangeran” tidak dituduh anti agama, namun karena
agama bukan sebagai kekuatan publik maupun sumber kesalehan sosial, maka agama
lalu kehilangan daya kritisnya terhadap kekuasaan.
Agama lalu lebih berfungsi sebagai alat justifikasi terhadap segala yang
dilakukan “sang pangeran” dengan kekuasaan yang ada ditagannya.[6]
Diskursus
seputar hukum mengangkat non-muslim di kalangan Islam merupakan isu
kontroversial yang senantiasa memancing perdebatan di kalangan para ahli yang
telah berlangsung sejak dahulu hingga kini.[7]
Indonesia sebagai negara yang sebagian besar warga negaranya bergama Islam maka
persoalan ini juga menjadi trend di Indonesia. Munculnya tokoh non-islam yang
menawarkan dirinya jadi pemimpin di tengah-tengah warga Indonesia belakangan
ini tentunya mengalami kontroversi yang hebat.
Hal
ini muncul karena Islam yang sumber hukumnya adalah al-Qur’an dan Hadis yang
merupakan teks, disamping itu terdapat dalil yang melarang dengan jelas umat
Islam unruk memilih pemimpin yang non-Muslim sebagai pemimpinnya ditemukan pula
dalil yang membolehkannya. Interpretasi dan penafsiran yang berbeda yang
berbeda mengenai dalil-dalil tersebut yang seolah bertentangan tersebut, tentu
saja melahirkan pendapat yang bergam. Keberagaman penafsirn anatara ulama yang
mengharamkan dan membolehkan non-Muslim menjadi pemimpin di negara Indonesia
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, baik dalam konsep maupun
penerapannya terus berlangsung hingga detik ini.[8]
Secara
umum perbedaan pendapat para ulama tentang
pemimpin non-Muslim dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok
yang membolehkan serta mendukung dan
kelompok yang menolak serta mengharamkan. Penganut kelompok pertama lebih
banyak dari pada kelompok yang membolehkan. Diantara ulama yang menolak
pemimpin non-Muslim adalah al-Jassash, al-Alusi, Ibnu Arabi dan masih banyak
lagi.
Selain
yang telah disebutkan dalam latar belakang, terdapat juga dalil lain yang
dijadikan landasan bagi kelompok yang menolak pemimpin non-Muslim yaitu salah
satunya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ[9]
“Wahai oramg-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang
Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling
melindungi. Barang siapa diantara kamu yang menjadikan teman setia, maka
sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang zalim” (Q.S al-Maidah 5:51).[10]
Selain kedua dalil yang telah disebutkan masih terdapat banyak
dalil yang meski dengan redaksi berbeda-beda, namun sama-sama menekankan
larangan bagi kaum muslimin untuk memilih non-Muslim sebagai pemimpinnya, baik
menjadi pemimpin negara atau pemimpin komunitas Islam.
Mengacu pada ayat tersebut, al-jassas misalnya memberikan catatan
dalam ayat QS. ‘Ali Imran: 28 dan ayat-ayat lain yang isinya senada dengannya
ada petunjuk bahwa dalam hal apapun orang kafir tidak boleh berkuasa atas
(umat) Islam. Sejalan dengan al-jassas, Ibnu Katsir menyatakan ayat-ayat
tersebut merupakan larangan Allah kepada hamba-Nya yang beriman, berteman akrab
dengan orang-orang kafir dan atau menjadikannya sebagai pemimpinnya. Siapa saja
di antara umat Islam yang membangkang terhadap Allah dengan mangasihi
musuh-musuh-Nya dan memusuhi para kekasih-Nya, tegas Ibnu Katsir, akan
mendapatkan siksa-Nya. Kecuali bila ia di beberapa negara dan dalam beberapa
kesempatan tertentu seorang (Muslim) takut terhadap kejahatan orang-orang
kafir, maka ia diberi dispensasi untuk ber-taqiyyah di hadapan mereka
secara zahirnya saja, tidak dalam batin dan niatnya. Selain berlandaskan ayat
tersebut, Ibnu Katsir juga memaparkan hadis riwayat Imam Bukhari yang bersumber
dari Abu Darda, yang berbunyi sebagai berikut
“sesungguhnya kami (sering) tersenyum di hadapan beberapa kaum,
sedangkan (sebenarnya) hati kami mengutukinya.” (HR. Al-Bukhari). [11]
Bebagai
macam dalil dikemukakan oleh para ualama sebagai landasan larangan memilih
pemimpin non-Muslim dan juga berbagai macam penfsiran tentang ayat-ayat yang
senada dalam larangan memilih pemimpin non-Islam. Di kalangan umat Islam yang
tergolong paling keras menolak presiden non-Muslim adalah Sayyid Qutb lebih
dari itu ia bahkan berpendapat, sekedar menolong dan atau mengadakan perjanjian
persahabatan dengan non-Muslim saja, utamanya kaum Yahudi Nasrani, umat Muslim
tidak diperbolehkan melakukannya.
Sementara
ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan publik
tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat
pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.
ويجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم
Posisi
pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh
dzimmi
(non muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh
(pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya),
tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus
Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan1,
1960, halaman 27).
Al-Mawardi
dalam Al-Ahkamus
Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi
setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz.
Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai
kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur
anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan
Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.[12]
Pro
dan kontra mengenai bolehnya mengangkat pemimpin non-Muslim di Indoneia pasti
terjadi. Mengingat indonesia sebagai negara yang mayoritas Muslim dan sebagai
negara multikultural.
B.
Pemimpin
Ideal menurut Ibnu Taimiyah
Ibnu
Taimiyah yang memiliki nama lengkap Taqi Din Abul Abbas Ibn Abdul Halim Ibn
Abdul-Salam Ibn Taimiyah yang lahir pada 22 Januari 1262 di Herran , dekat
Damaskus, dari keluarga ulama Syria yang setia pada ajaran agama puritan dan
amat terkait dengan mazhab hanafi. Ibnu
Taimiyah merupakan sosok pemberani, ia tidak segan mengoreksi pemerintah yang
menurutnya senonoh dan tidak cakap dalam memerintah. Menurut Macdonald, Ibn
Taimiyah adalah seorang yang amat terkemuka (a saint malgre lui).[13]
Dasr
pijak pendekatan yuridis Ibn Taimiyah adalah mazhab Hanbali, mazhab hukum Islam
yang paling ortodoks. Mazhab yang ditandai dengan ketundukan yang tegas
terhadap teks-teks Qur’an dan Sunnah, dua sumber teologi dan hukum Islam bagi
para pemimpinnya.
Ibnu
Taimiyah mengkritis pemerintahan Khilafah, karena tidak mampu memenuhi tujuan tertentu,
itu disebabkan karena terlalu bersandar pada sejarah sehingga penelitian yang
dimaksud kehilangan kontak dengan tujuannya semula (idiealitanya). Ibnu
Taimiyah menemukan beberapa penyimpangan-penyimpangan dalam praktek kehidupan
dan pandangan di masanya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Penyimpangan itu disebabkan oleh beberapa faktor , terutama taklid buta
terhadap perilaku bid’ah atau fitnah yang menyesatkan.
Cukup
menarik, Ibnu Taimiyah bukan hanya mengkritik kekhalifaan, akan tetapu juga
tidak memandang perlunya kekhalifaan sama sekali. Ia meragukan validitas
pendapat bahwa kekhalifaan berasal dari Quran dan Sunnah. Ia memandang
kekhalifaan tidak relevan dan tidak urgen lagi untuk diyakini dan diterapkan
bagi masyarakat kosmopolitan dan heterogen seperti di tempat ia hidup.[14]
Selain itu Ibnu Taimiyah juga mengkritik Imamah dikatakannnya tidak mempunyai
dasar dalam Qur’an maupun Sunnah dan akal sehat.[15]
Untuk
gagasan kosmopolitanisme, Ibnu Taimiyah ini dalam konteks kepemimpinan dan
kewarganegaraan senantiasa memandang manusia sebagai individu yang merdeka
terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan
ikatan-ikatan tradisional lainnya.
Berawal dari pendapat mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan
keimanan ini, Ibnu Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan negara dalam
proyek kosmopolitanisme-nya. Ibnu Taimiyah mengemukakan tugas utama negara
adalah tegaknya syari’at yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal.
Dengan demikian, menurutnya, syari’ah dan keadilan universal adalah “saudara
kembar” yang paralel dan harus berjalan seiring. Dalam masyarakat yang
heteroen, baginya, semua elemen masyarakat pada dasarnya memiliki hak dan
kewajiban yang sama untuk memimpin atau dipimpin, tanpa ada diskriminasi atau
pengkultusan berlebihan terhadap suatu golongan tertentu. karena menurutnya,
Al-Quran secara tegas memuliakan manusia bukan karena keturunan dan kebangsaan,
namun atas dasar ketaqwaan.
Bagi Ibnu Taimiyah keadilan adalah penopang pemerintahan dan
syarat datangnya pertolongan Tuhan. Dalam rangka mencegah antagonisme yang
berujung pada ketidakadilan, ia berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan
keras oleh Negara. “Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini
berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan
larangan”.38 Dengan
demikian, maka keadilan harus senantiasa terintegrasi dalam pemerintahan.
Sebab, syariat dalam pemerintahan sesungguhnya ditopang oleh dua pilar-yang
juga sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan
mempromosikan kebaikan sekaligus mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
Menurutnya, bahwa tujuan syari’ah adalah mewujudkan suatu
kemaslahatan sesempurna mungkin dan menolak kemafsadatan. Pengaktualisasian
mas}lah}ah diperkenankan sebagai alat penyelesaian persoalan mu’amalah, termasuk
di dalamnya adalah masalah politik. Mendirikan negara atau menegakkan suatu
kekuasaan adalah suatu kewajiban untuk upaya melestarikan kesejahteraan umat
manusia dalam melaksanakan syariat Islam.[16]
Kaum
msulimin dalam hidup sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan pada
stabilitas dengan sumber pernyataan “Lebih baik 60 tahun diperintah oleh
pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan”, adalah
berasal dari pendapat ibnu Taimiyah sendiri dalam buku As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah. Keberadaan suatu tatanan masyarakat
bertujuan mencapai suatu kemaslahatan dengan menciptakan kemaslahatan itu
sendiri serta menolak kemafsadatan adalah basis fundamental dari maslahah.
Sautu negara dan adanya pemimpin negara, harus bersifat adil dan amanah.[17]
Menurut
Ibnu Taimiyah hal yang penting adalah suatu sistem dalam sebuah negara, tetapi
seseorang yang meduduki jabatan kekuasaan harus memenuhi persyaratan, pertama,
memperoleh dukungan mayoritas umat dalam Islam ditentuakn dengan konsultasi dan
bai’at. Kedua memenangkan dukungan dari kalangan Ahl asy-Syaukah atau unsur
pemegang kekuasaan dalam masyarakat dan ketiga memiliki syarat kekuatan pribadi
dan dapat dipercaya dengan sikap jujur, amanah, adil, maka seorang pemimpin
akan mampu memberikan kemashlahatan kepada rakyatnya.
Sehingga
dengan berani Ibnu Taimiyah mengeluarkan stetement “lebih baik dipimpin oleh
pemimpin kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim”. Dengan demikian, relevansi pemikiran Ibnu Taimiyah dalam
diskursus seputar pengangkatan non-muslim menjadi pemimpin di kalangan umat
Islam terjawab dengan sendirinya, bahwa hal itu dibolehkan selama ia memenuhi
syarat-syarat utamanya sebagaimana telah disebutkan di atas.
Kemaslahatan yang ingi dicapai ibnu Taimiyah disini berarti bahwa
kapasitas, integritas, komitmen dan kemampuan berlaku adil yang dimiliki dan
ditampilkan oleh seorang pemimpin yang mendapatkan dukungan mayoritas
masyarakat (baca: bai’at) jauh didahulukan atau dimenangkan daripada
memperhitungkan latar belakang keimanan seorang pemimpin tersebut. Dengan kata
lain, menghilangkan mafsadat yang jauh lebih besar itulah yang merupakan
maslahah sesungguhnya daripada mengambil maslahat yang lebih kecil.
Selama seorang pemimpin tidak adil, korup dan melakukan
kejahatan-kejahatan terhadap rakyatnya, baik langsung maupun tersembunyi, maka
ia tidak wajib ditaati. Sebaliknya, jika seorang pemimpin memerintah dengan
adil, profesional dan bekerja sepenuhnya demi kemakmuran masyarakat yang
dipimpinnya, maka ia berhak untuk ditaati meskipun ia seorang non-muslim.[18]
C.
Analisis Penulis “Interpretasi Pemikiran Ibnu Taimiyah terhadap
Ahok”
Basuki T Purnama (BTP) yang akrab dipanggil Ahok lahir di Gantung, desa Laskar
Pelangi, Belitung Timur. Ia melanjutkan Sekolah Menengah Atas
(SMU) dan perguruan tinggi di Jakarta dengan memilih Fakultas Teknologi Mineral
jurusan Teknik Geologi Universitas
Trisakti. Ahok adalah
salah satu calon Wakil Gubernur DKI pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Ahok bernama
asli Basuki Tjahaja Purnama dan dilahirkan di wilayah Belitung. Sebelum
bersanding dengan Jokowi pada
Pilkada DKI 2012, Ahok telah menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode
2005-2010 dan menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014.[19]
Pandangan
masyarakat tentang Ahok sebagai berikut:
1.
Martinus Meogana, warga Matraman, Jakarta Timur
Saya
telah menyerahkan KTP untuk mendukung Ahok. Saya ingin Ahok memimpin Jakarta
dua periode. Ahok itu jujur dan pemberani. Berkat Ahok sekolah gratis dan
berobat juga gratis. Saya yakin Ahok dapat memenangkan Pilkada DKI 2017.
2.
Muhammad Qodari, Direktur
Eksekutif Indo Barometer
Ahok
memiliki pengaruh yang besar di DKI Jakarta. Kelebihan yang dimiliki Ahok
dibandingkan dengan calon-calon kepala daerah yang akan berlaga dalam Pilkada
DKI 2017 adalah soal pengalaman bekerja dan kinerja sebagai seorang kepala
daerah. Tidak mudah mengalahkan Ahok. Kinerja dan kualitasnya sebagai kepala
daerah sudah terbukti. Itu yang belum terlihat pada diri calon-calon lain.
3. Zaskia Adya Mecca, artis
Saya
mengagumi Ahok. Saya telah memberikan KTP saya sebagai dukungan kepada Ahok.
Selain itu saya juga aktif membantu ‘Teman Ahok’ mengumpulkan KTP dari berbagai
kalangan masyarakat agar target sejuta KTP cepat terealisasi.
4.
Adhyaksa Dault, Ketua
Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
Saya
mengagumi kepemimpinan Ahok. Saya menilai Ahok mempunyai program-program
unggulan untuk mengatasi masalah Ibu Kota. Ahok sedang melakukan yang terbaik
buat Jakarta. Terobosan-terobosannya bagus.[20]
Dari
beberapa pandangan tokoh dapat diatas dapat disimpulkan bahwa Ahok merupakan
sosok yang jujur, pemberani, kinerja dengan kualitas yang baik dan bertanggung
jawab.
Akan
tetapi walaupun demikian Ahok tidak terlepas dengan komentar yang negatif. Penilaian
orang-orang terhadap Ahok sangatlah beragam sesuai bagaimana mereka memandang
Ahok.
Dengan
beberapa komentar masyarakat menjadi pertimbangan bagaimana kita menilai Ahok
sehingga dapat dikatakan layak untuk menjadi seorang pemimpin. Apabila hal itu
sesuai dengan pandangan Ibnu Taimiyah bahwa selama
seorang pemimpin tidak adil, korup dan melakukan kejahatan-kejahatan terhadap
rakyatnya, baik langsung maupun tersembunyi, maka ia tidak wajib ditaati.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin memerintah dengan adil, profesional dan
bekerja sepenuhnya demi kemakmuran masyarakat yang dipimpinnya, maka ia berhak
untuk ditaati meskipun ia seorang non-muslim. Sehingga perlu diteliti dengan
cermat bagaimana sosok Ahok, apakah berhak menjadi pemimpin karena telah
memenuhi syarat yang ditawarkan oleh Ibnu Taimiyah selama ia masih mengutamakan
kemaslahatan masyarakat.
Adapun ayat yang menerangkan bahwa dilarangnya orang muslim untuk
menjadikan orang-orang kafir wali harus di teliti lebih jauh lagi mengenai
tafsiran dan asbabun nuzul sehingga tidak gegabah dalam mnetapkan sesuatu. Perbedaan
penafsiran ayat mengenai menjadikan orang kafir sebagai pemimpin merupakan
suatu kewajaran.
Dalam tafsir Majahid disebutkan bahwa dilarang menjadikan orang
kafir sebagai pemimpin kecuali dalam urusan dunia.[21]
Masalah ini untuk lebih jelasnya perlu diteliti lagi dalil-dalil yang
menguatkan hal tersebut baik itu dari Al-Qur’an dan Hadis serta para ijma’
Ulama.
KESIMPULAN
Pro kontra
mengenai menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin terjadi di Indonesia, terutama
belakangan ini mengenai munculnya sosok yang biasa di panggil Ahok. Ahok yang
beragama non-Muslim banyak ditolak oleh masyarakat Indonesia denagn
berlandaskan dalil-dalil yang terdapat dalam Qur’an dan Hadis.
Menurut
Ibnu Taimiyah hal yang penting adalah suatu sistem dalam sebuah negara, tetapi
seseorang yang meduduki jabatan kekuasaan harus memenuhi persyaratan, pertama,
memperoleh dukungan mayoritas umat dalam Islam ditentuakn dengan konsultasi dan
bai’at. Kedua memenangkan dukungan dari kalangan Ahl asy-Syaukah atau unsur
pemegang kekuasaan dalam masyarakat dan ketiga memiliki syarat kekuatan pribadu
dan dapat dipercaya dengan sikap jujur, amanah, adil, maka seorang pemimpin
akan mampu memberikan kemashlahatan kepada rakyatnya.
Sehingga
dengan berani Ibnu Taimiyah mengeluarkan stetement “lebih baik dipimpin oleh
pemimpin kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim”.
Hal
tersebut dapat dianalogikan dengan sosok Ahok, Ahok berhak menjadi pemimpin
selama ia memenuhi syarat yang telah di tawarkan Ibnu Taimiyah untuk mencapi
sebuah kemaslahatan. Pernyataan Ibnu Taimiyah hanya memberikan jalan bagi Ahok
untuk menjadi pemimpin apabila ia memenuhi syarat tanpa menganjurkan untuk
memilih Ahok sebagai pemimpin.
DAFTAR
PUSTAKA
Depertemen
Agama Republik Indonesia. Al-Qur’anulkarim Special For Muslimah Cordoba bilqis.
2012. Bandung: PT Cordoba Internasional Indonesia.
Googleweblight.com. 23 Maret 2016.
Jindan,
Khalid Ibrahim. 1994 Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Kaelan. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Khalik,
Abu Tholib. 2014. Pemimpin Non-muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, dalam
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, volume 14, Nomor1. Lampung: Fakultas
Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Maktabah
Syamilah versi 3.36
Maliki, Zainuddin. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yogyakarta:
Yayasan Galang, 2000.
NU
Online. Memilih Pemimpin Non Islam,
Bolehkah? Dalam http://www.nu.or.id/post/read/63567/memilih-pemimpin-non-muslim-bolehkah di akses 17 April 2016.
Rahman, Arif. “Inilah Sosok Ahok di Mata Mereka” dalam
http://obsessionnews.com/inilah-sosok-ahok-di-mata-mereka/ diakses 17 April 2016.
Sholahuddin,
Asep. 2014 “Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun” dalam
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
Ulinnuha,
Roma, 2014. kewarganegaraan Kompilasi Referensi dalam Demokrasi dalam
Kehidupan Beragama, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga.
Wijaya, Rony. “Biografi Ahok (Basuki
Tjahaja Purnama)” dalam http://bio.or.id/biografi-ahok-basuki-tjahaja-purnama/ diakses 17 April 2016
[1] Kaelan, Pendidikan
Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2014), hlm. 145
[2]
Roma Ulinnuha, kewarganegaraan Kompilasi Referensi dalam Demokrasi
dalam Kehidupan Beragama, (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam UIN Sunan Kalijaga, 2014), hlm. 30
[3]
Googleweblight.com, 23 Maret 2016.
[4] Asep
Sholahuddin, “Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun” dalam
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
(Jakarta: 2014), hlm. i.
[5] Khalid
Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 1994), hlm. Ix-x.
[6]
Zainuddin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa, (Yogyakarta: Yayasan
Galang, 2000), hlm. Xii-Xiii
[7] Abu
Tholib Khalik, Pemimpin Non-muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, dalam
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, volume 14, Nomor1, (Lampung: Fakultas
Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2014), hlm. 61
[8] Abu
Tholib Khalik, Pemimpin Non-muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, hlm.
62
[9] Maktabah
Syamilah versi 3.36
[10] Depertemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anulkarim Special For Muslimah Cordoba bilqis
(Bandung: PT Cordoba Internasional Indonesia, 2012), hlm. 117.
[11] Abu
Tholib Khalik, Pemimpin Non-muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, hlm.
64-65.
[12] NU
Online, Memilih Pemimpin Non Islam, Bolehkah? Dalam http://www.nu.or.id/post/read/63567/memilih-pemimpin-non-muslim-bolehkah
di akses 17 April 2016.
[13] Khalid
Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiya, hlm. 22.
[14] Abu
Tholib Khalik, Pemimpin Non-muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, hlm.
74
[15] Khalid
Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, hlm.
39-40
[16] Abu
Tholib Khalik, Pemimpin Non-muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, hlm.
56-59
[17] Abu
Tholib Khalik, Pemimpin Non-muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, hlm.
81
[18] Abu
Tholib Khalik, Pemimpin Non-muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, hlm.
82-85
[19] Rony
Wijaya, “Biografi Ahok (Basuki Tjahaja Purnama)” dalam http://bio.or.id/biografi-ahok-basuki-tjahaja-purnama/
diakses 17 April 2016.
[20] Arif
Rahman, “Inilah Sosok Ahok di Mata Mereka” dalam http://obsessionnews.com/inilah-sosok-ahok-di-mata-mereka/
diakses 17 April 2016.
[21]
Maktabah Syamilah versi 3.35.
Komentar
Posting Komentar