Teori-teori Sosilogi Antropologi dan Prakteknya



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang     
Agama merupakan gejala terdekat dalam masyarakat, sehingga hubungan antara masyarakat dan agama adalah hubungan yang totalitas  karena bagaimanapun, manusia tidak bisa dipisahkan dengan agama. Kedua sifat tersebut dihayati oleh manusia sekaligus dalam menempuh kehidupan menurut tuturan dari Facry Ali.
Kehidupan beragama di zaman modern ini sudah sedimikian kopmpleks yang dipenuhi beberapa banyak agama yang dianut oleh manusia. Mulai dari aliran kepercayaam, aliran kebatinan, aliran pemujaan yang banyak ditemukan dalam masyarakat modern saat ini. Sedimikian kompleksnya kehidupan beragama saat ini sehingga banyak mempengaruhi bagian dari masyarakat, seperti sosial-politik, ekonomi, bahkan ada yang menjadikan alasan dalam melancarkan gerakan radikal.
Disamping itu kehidupan beragama punya pengaruh besar terhadap kebudayaan , menurut Malefijt bahwa agama mewarnai dan membentuk suatu budaya. Greetz juga mengungkapkan bahwa kehidupan beragama sudah mengalami tingkat yang sangat kompleks. Agama tampak tumpang tindih dalam kebudayaan. Kompleksnya agama dapat kita lihat dalam ajaran Islam, ajaran Islam tidak hanya mengatur mengenai hubungan anatar manusia dengan tuhannya, akan tetapi juga mengatur mengenai hubungan antar manusia dengan manusia.
Namun dalam fenomena sosial-budaya, dalam realita hidup umat Islam di zaman modern ini, kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dari kehidupan masyarakat sehari-hari, yaitu bukan hanya berhubungan dengan gaib dan rituak saja. Kehidupan bergama dewasa ini menjadi subsistem sosial budayanya.[1]
Dari beberapa fakta mengenai agama dan budaya maka muncul pertanyaan, apabila demikian apakah agama merupakan bagian dari kebudayaan? Dan jika agama merupakan bagian dari kebudayaan maka ahli theologis membantah hal tersebut. Akan tetapi pada umumnya para antroplog menempatkan agama sebagai salah satu aspek kebudayan, unsur-unsur kebudayaan yang ditemukan secara universal, di mana dan kapan pun karena dia merupakan norma dan prinsip-prinsip yang ada dalam keyakinan, pemahaman, dan rasa masyarakat yang bersangkutan dalam berhubungan dengan yang gaib.
Perlu kita pahami bahwa agama (wahyu) sebagai jaran dari Tuhan bukanlah kebudayaan karena bukan hasil cipta, rasamdan karsa manusia. Akan tetapi, ajaran agama bukan semuanya yang merupakan wahyu Tuhan. Banyak pula yang merupakan interpretasi dan pendapat pemuka agama terhadapa wahyu Tuhan itu, sehingga merupakan kebudayaan. Namun demikian, ada juga agama yang memang merupakan kebudayaan manusia, yaitu yang hanya berasal dari tradisi turun temurun dan tidak jelas siapa pembawanya. Dan hal itu biasa disebut agama budaya.
Dalam faktanya Islam telah melebur dikalangan masyarakat, kan tetapi Islam yang berada di tenagh kalangan masyarakat seringkali menyimpang dengan apa yang menjadi pedoman agama Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis. Mislnya, di Seyagen, Yogyakarta, terdapat tradisi mengelilingi pohon beringin tua yang wajib dijalani oleh calon pengantin. Ritual ini dilakukan sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk putaran pertama diniatkan untuk Allah, putaran kedua untuk Rasulullah, kemudian putaran ketiga untuk mashlahah bangsa dan negara. Di setiap putaran diharuskan membaca syahadat, sholawat, dan surah alfatihah sebanyak tiga kali. Tradisi ini merupakan warisan Mbah Bergas, yang merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Dalam mitosnya jika tradisi ini dialanggar maka akan mendatangkan malapetaka bagi kedua calon mempelai dalam rumah tangga mereka.
Dari permasalahan tersebut dapat dilihat bahwa adanya Budaya yang kemudian disisipkan nilai-nilai agama Islam ke dalamnya sehingga budaya tersebut pada dasarnya menentang ajaran agama Islam itu sendiri. Budaya dan agama yang leburkan satu sama lain akan tetapi saling menentang satu sama lain sehingga menimbulkan permasalahan dalam menyikapinya.
Maka dalam makalah Ilmiah ini akan berusaha menjelaskan permasalahan tersebut dalam pandangan teologis dan sosio-antropologis. Sehingga masalah ini tidak hanya dipandang sebelah akan tetapi dipandang secara kesuluruhan dan dapat menimbulkan masyarakat yang tentram.
B.     Kerangka Teori
Agama islam adalah agama yang baru, sebelum masuk ke Indonesia sejak dari dulu Indonesia telah mempunyai kepercayaan terlebih dahulu. Datangnya islam ke Indonesia dapat dikatakan suatu pencapaian yang luar biasa, karena sebagai agama baru yang kemudian menjadi agama mayoritas.
Islam yang dalam ajarannya bukan hanya mengatur tentang kehidupan kelak, melainkan juga mengatur masalah sosial. Nampaknya penyebaran Islam di Nusantara lebih mengedepankan akhlak karena untuk menarik perhatian umat, agama Islam merangkul tradisi yang bertentangan dengan Islam, terutama tradisi masyarakat Jawa. Namun, dengan berjalannya waktu tradisi Jawa tercover dengan nilai-nilai Islam.[2]
Tradisi yang telah turun temurun dan tetap dipertahankan sampai sekarang bukan hanya dilakukan sebagai warisan, akan tetapi semuanya itu dilakukan untuk menjalin keharmonisan masayarakat. Karena dengan melakukan tradisi yang turun temurun akan melahirkan masayarakat yang rukun, begitupun sebaliknya jika masyarakat saling menentang maka akan melahirkan masyarakat yang terpecah-pecah.
Salah satu yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini adalah tradisi di Seyagen, Yogyakarta. Tradisi tersebut terus dilakukan oleh masayarakat sampai sekarang dengan berbagai mitos yang dipercayai masyarakat. Masayarakat di Seyagen, Yogyakarta melakukan tradisi untuk calon pengantin dengan mengelilingi pohon beringin tua dengan mitos apabila ritual tersebut tidak lakukan maka kedua mempelai akan mengalami malapetaka dalam keluarganya. Dalam melakukan ritualnya, maka disisipkan nilai-nilai islami seperti membaca syahadat dan sebagainya dan hal tersebut apabila dilihat dari kacamata Islam, maka sudah jelas tradisi tersebut menyalahi Islam.
Kemudian bagaimana pandangan sosio-antropologi dalam masalah tersebut yang membahas dua substansi yang tidak bisa dipisahkan dan keduanya ada pertentangan , yaitu agama dan tradisi. Maka pendekatan yang digunakan adalah:
1.      Teori Evolusi
Salah satu cara untuk menjelaskan agama adalah dengan mengkaji bagaimana asal mula bentuk paling sederhana dalam agama. Yaitu dengan mengkaji masayrakat primitif. Dalam perkembangannya teori evolusi ini dapat dapat digolongkan dalam beberapa aliran, akan tetapi kami hanya menyuguhkan dua aliran yang memiliki hubungan erat dengan masalah yang dibahas, yaitu:
a.       Aliran Prehistoris-evolusionistis
Metode ini menggunakan daerah atau lingkungan kebudayaan sebagai sudut pandangnya. Daerah kebudayaan yang dimaksud adalah masyarakat itu, baik dipandang dari segi kebudayaan (seperti alat-alat, senjata dan sebagainya), maupun dipandang dari segi adat istiadat, kebiasaan cara berpikir dan bertindaknya berkembang melalui tingkatan-tingkatan tertentu. adapun horizon-horizon yang merupakan tahap di dalam sejarah manusia dan di dalam evolusi kebudayaannya.
1)      Horizon primitif, suatu tingkat kebudayaan yang meliputi cara hidup, praktik-praktik keagamaan dan adat istiadat dari manusia pemangku kebudayaan pengumpul makanan dari bangsa berburu. Agama yang dikenal oleh pemangku kebudayaan ini ialah perasaan takut, teka-teki dan memuja benda-benda yang mempunyai mana.
2)      Horizon animisme, dengan manusia pemangku kebudayaan yang sudah tergolong dalam kelompok yang telah memulai bertemat tinggal pada desa-desa tertentu. agama dari pemangku kebudayaan ini adalah kepercayaan terhadap makhluk halus yang tidak kelihatan
3)      Horizon pertanian, dengan manusia pemangku kebudayaan yang sudah mengerjakan tanah yang dapat menghasilkan makanan mereka dan sudah meluaskan daerahnya sehingga membentuk suku. Agama dari manusia pemangku kebudayaan ini adalah kecendrungan untuk memperorangkan roh-roh dan makhluk dalam horizon primitf dan animisme.
4)      Horizon tingkatan kebudayaan dari bangsa kuno yang sudah berkebudayaan tinggi. Agama dari pemangku kebudayaan ini adalah pantulan sistem politik dan sosial yang dianutnya dan biasanya pholitheistis dengan suatu masyarakt dewa.
5)      Horizon erat hubungan dengan sifat-sifat terpenting dari yang sebelumnya, yaitu perkembangan alam pikiran kebudayaan. Sehingga terbentuk konsepsi-konsepsi moral dan agama dan dari keadaan-keadaan yang memungkinkan perkembangan tokoh-tokoh besar seperti para Nabi.
b.      Aliran Psychologis-evolusionistis
Aliran ini menganggap bahwa agama itu tumbuh dan berkembang dari adanya perasaan takut atau disebabkan oleh keinginan untuk menghindari kekuatan-kekuatan yang tidak disenangi dan lain-lain semacam itu yang bersifat kejiwaan.
2.      Teori fungsional
a.       Agama sebagai perekat sosial
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Emile Durkheim. Durkheim tertarik kepada unsur-unsur solidaritas masyarakat. Dia mencari prinsip yang mempertalikan anggota masyarakat. Durkheim menyatakan bahwa agama harus mempunyai fungsi. Agama bukan ilusi, tetapi merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial.[3]
b.      Agama sebagai motif dalam Tindakan Sosial
Teori ini adalah sebuah pendekatan yang dicetuskan oleh Max Weber yang merupakan tokoh sosiologi terkenal disamping Durkheim. Weber mencetuskan teori ini dengan maksud memahami makna tindakan seseorang.
Gagasan Weber mngenai hal ini adalah ia membedakan dengan tegas antara tindakan (action) dan perilaku (behavior). Sementara perilaku adalah kegiatan naluriah tanpa pemaknaan subjektif. Sedangkan tindakan merupakan semua perilaku sejauh pelakunya menghubungkan dengan makna subjektif. Dengan demikian, tindakan adalah suatu realisasi dan ekspresi fenomenal dari makna-makna transendntal. Makna-makna tersebut, mislnya keselamatan abadi, kebaikan hati dan kerendahan hati. Semua itu tampil secara fenomenal dalam tindakan. Max Weber juga beramsumsi bahwa seseorang dalam bertindak tidak hanya melaksanakan, tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan berpikir dan perilaku orang lain. Konsep pendekatan ini lebih mengarah pada suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai.
Adapun macam-macam tindakan sosial yang dikaji oleh Max Weber ada empat, antara lain:
1)      Tindakan Rasional Instrumental, merupakan tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan. Sebuah tindakan yang mencerminkan efektivitas dan efesiensi.
2)      Tindakan Rasional Berorientasi, dalam tindakan ini, alat-alat hanya merupkan objek perhitungan dan pertimbangan yang sadar, tetapi tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolute yang sudah menjadi nilai akhir baginya.
3)      Tindakan Tradisional, tindakan ini menurut Weber merupakan suatu tindakan yang berada pada ranah non-rasional. Maksudnya adalah bahwa tindakan sosial dalam konteks hubungan sosial didasarkan pada tradisi-tradisi yang sudah dilaksanakan oleh nenek moyang kami, demikian juga dengan nenek moyang mereka sebelumnya, ini adalah cara begini dan akan selalu begini.
4)      Tindakan Afektif, tindakan ini selalu didorong oleh perasaan emosi tanpa refleksi pengetahuan intelektual dan perencanaan yang sadar. Jadi seseorang melakukan tindakan ini tanpa memikirkan secara matang apa yang dilakukannya, sehingga tipe ini dikategorikan sebagai tindakan non-rasional.[4]
c.       Agama sebagai sumber keterasingan dan legitimasi masyarakat
Dengan teori fungsionalisme yang bersifat materilistik, Karl Marx mencoba melihat peran agama secara negatif. Menurutnya agama merupakan sumber keterasingan masyarakat dari dunia sosialnya. Karena agama mengacaukan sumber dan realitas ketertindasan masayarakat yang diatur, dan juga berfungsi sebagai agen keteraturan sosial yang ditentukan secara ketuhanan. Ini membuat agama kemudian berubah jadi candu yang membius masyarakat dalam suasana ketertindasan mereka akibat kehilngan kesadaran sosialnya. Agama kemudian hanya menjanjikan pahala dalam kehidupan akhirat.[5]
d.      Agama sebagai konstruksi Sosial
Menurut Peter L. Berger berpendapat bahwa agama berperan dalam mengkonstruksi dunia sosial, artinya agama tidak semata-mata berfungsi sebagai pemelihara dunia, akan tetapi justru yang lebih penting adalah sebagai pembangun dunia. Jadi dunia sosial itu dibangun dari proses internalisasi dimana individu menerima dan menghayati nilai-nilai dan makna suci dari wahyu yang kemudian dieksternalisasikan nilai-nilai dan makna itu dalam kesadaran dunia sosial.[6]
e.       Agama sebagai simbiolis
Teori ini dicetuskan oleh Mircea Eliade. Selain tindakan sosial terdpat juga simbol yang termasuk komponen dari ritus suci. Dalam kehidupan masyarakat yang melestarikan tradisi primitive, kita selalu menemukan simbol yang berbentuk tindakan, benda-benda, mantra-mantra dan lain sebagainya. Selain itu, kita juga sering menjumpai cerita-cerita mitos yang disakralkan.
3.      Teori konflik
Secara umum masing-masing agama memiliki dua sifat sakaligus yang saling bertentangan yaitu ajaran tentang hidup damai dan pembagian diri ke dalam kelompok yang dapat mengakibatkan konflik. Perbedaan iman dan ritus suatu kelompok akan menjadi alasan persaingan, perdebatan, perselisihan konflik, bahkan kekerasan fisik.
C.     Rumusan Masalah
1.      Bagaiman pandangan Sosio-antropologi terhadap tradisi mengelilingi pohon beringin Seyagen, Yogyakarta dengan teori evolusi, fungsionalis, dan konflik
2.      Bagaimna pandangan ahli Theolog terhadap tradisi mengelilingi pohon beringin Seyagen, Yogyakarta












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pandangan Sosio-antropologi terhadap tradisi mengelilingi pohon beringin Seyagen, Yogyakarta dengan teori evolusi, fungsionalis, dan konflik
Agama Islam yang telah berkembang di Indonesia kini telah mengalami sesuatu yang kompleks. Tradisi dan agama kini tidak dapat dibedakan oleh masyaralat tertentu. adapula tradisi yang masih dipertahankan oleh masayarakat yang sudah jelas menentang agama Islam itu sendiri.
Seperti tradisi yang ada pada dusun Ngino, Seyagen, Yogyakarta. Calon pengantin harus mengelilingi pohon tersebut sebanyak tiga kali dengan mitos apabila tidak dilakukan maka akan mengalami mala petaka. Dalam ritualnya disisipkan nilai islami yaitu bacaan syahadat dan juga al-fatihah. Walaupun hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi kita tidak boleh langsung mengatakan bahwa tradisi tersebut harus dimusnahkan karena menyalahi aturan. Kemudian untuk memahami secara jelas maka akan menggunakan teori-teori yang kemudian peristiwa ini dileburkan kedalamnya sehingga pencapai suatu pemahaman yang baik dan tidak keliru.
1.      Teori evolusi
Teori evolusi menjelaskan masalah tersebut dengan historis. Adanya perubahan cara beragama masayarakat sehingga apa yang dilakukan oleh masayarakat terdahulu masih dilakukan di waktu sekarang karena dijadikan sebagai turun temurun. Meskipun menurut Auguste Comte bahwa agama merupakan evolusi, menurutnya agama pernah dianggap penting, tetapi kini sudah menjadi usang lantaran perkembangan modern.[7] Dalam teori ini terdapat beberapa aliran
a.       Aliran Prehistoris-evolusionistis, dalam aliran ini terdapat horizon-horizon yang terus berkembang sesuai dengan kebudayaan. Cara beragama yang pada awalnya berupa animisme kemudian menjadi dinamisme tentu memiliki pengaruh terhadap cara beragama saat ini. Mbah Bergas yang merupakan tokoh dalam penyebaran Islam yang dihormati oleh masyarakat sehingga apa yang dilakukan oleh Mbah Bergas dijadikan suatu tradisi yang harus dilakukan. Dalam sejarahnya tradisi tersebut muncul ketika Mbah Bergas dan ayahnya Sunan Kalijaga melakukan perundingan sambil mengunyah sirih. Ketika ia mengunyah sirih mereka merasa terganggu oleh bunyi derit senggot. Sehingga ada pantangan untuk membuat timba dari senggot dan menanam pohon sirih. Muncul pula ajaran agar setiap pengantin melakukan kirab dengan memutari pohon beringin peninggalan Mbah Bergas agar pengantin tersebut menjalankan kehidupan rumah tangga dengan tentram.[8] Dalam perkembangannya kemudian masayarakat menjadikannya sebuah tradisi yang harus dilakukan secara turun temurun dan telah diselipkan nilai-nilai agama. 
Masalah ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai horizon yang ke-5 Horizon erat hubungan dengan sifat-sifat terpenting dari yang sebelumnya, yaitu perkembangan alam pikiran kebudayaan. Karena pada masa sekarang agama telah dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang membwa agama seperti Nabi. Akan tetapi masih tercampur dengan Horizon yang sebelumnya yaitu dinamisme. Karena menganggap pohon beringin peninggalan Mbah Bergas memiliki kesakralan.
b.      Aliran Psychologis-evolusionistis, menurut aliran ini tradisi mengelilingi pohon untuk calon pengantin adalah karena adanya rasa takut atau disebabkan oleh keinginan untuk menghindari kekuatan-kekuatan yang tidak disenangi dan lain-lain semacam itu yang bersifat kejiwaan. Adanya mitos bahwa barang siapa yang tidak melakukan ritual itu maka ia akan celaka dalam rumah tangganya. Sehingga masayarakat terus mempertahankan tradisi tersebut karena adanya ketakutan terhadapa kekuatan yang metafisika.
2.      Teori fungsional
Teori ini menerangkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat memiliki fungsi-fungsi tertuntu dalam hal ini adalah fungsi agama dalam masyarakat. Tradisi mengelilingi pohon sangat erat kaitannya dengan agama dan tradisi. Oleh karena itu harus dipahami secara jelas fungsi agama terhadap masayarakat.
a.       Agama sebagai perekat sosial
Menurut Durkheim agama sabagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. “agama merupakan suatu sistem interpretasi diri kolektif. Dengan kata lain agama adalah sistem simbol di mana masayarakat bisa menjadi sadar akan dirinya, ia adalah cara berpikir tentang eksistensi kolektif. Selama masyarakat berlangsung maka agama pun akan tetap lestari.
Begitu juga dengan tradisi mengelilingi pohon beringin ini. Jika tradisi ini terus dijaga maka akan menimbulakn masyarakat yang solid menurut Durkheim dalam Solidaritas masyarakatnya dengan tidak adanya pertentangan. Karena dengan mempertahankan tradisi tersebut yang diselipkan nilai agama Islam maka agama disini berperang sebagai perekat Sosial. Karena agama pada dasarnya pasti memiliki kepentingan dalam kehidupan sosial.
b.      Agama sebagai motif dalam Tindakan Sosial
Dalam hal ini agama digunakan sebagai alasan bertindak, dalam bertindak tidak hanya melaksanakan, tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan berpikir dan perilaku orang lain. Konsep pendekatan ini lebih mengarah pada suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai. Begitupula dalam budaya Islam ini seorang melakukan tradisi mengelilingi pohon untuk calon pengantin dengan bermotif pada tujuan agar calon pengantin setelah melakukan ritual tersebut memperoleh keberkahan dan tidak memperolah celaka dalam keluarganya.
Ritual ini termasuk dalam tindakan tradisional, Maksudnya adalah bahwa tindakan sosial dalam konteks hubungan sosial didasarkan pada tradisi-tradisi yang sudah dilaksanakan oleh nenek moyang atau orang terdahulu yang dianggap sebagai orang penting dan dihormati. Dalam hal ini adalah Mbah Bergas, Masyarakat Ngino terus melakukan ritual ini sebagai suatu tindakan sosial karena telah dilakukan oleh Mbha Bergas sebagai tokoh masyarakat yang dipatuhi. Dengan berlandaskan budaya yang diselipkan nilai Islam sehingga bisa disebut sebagai budaya Islam sebagai motif untuk melakukan tradisi tersebut.
c.       Agama sebagai sumber keterasingan dan legitimasi masyarakat
Selain fungsi positif agama dalam masayarakat terdapat juga menurut Karl Marx yang mencoba melihat peran agama secara negatif. Menurutnya agama merupakan sumber keterasingan masyarakat dari dunia sosialnya. Dalam tradisi ini memunculkan kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan tradisi tersebut karena menyalahi aturan Islam, sehingga hal tersebut menjadi sumber keterasinagnyang menganut tradisi tersebut. Karena agama mengacaukan sumber dan realitas ketertindasan masayarakat yang diatur, dan juga berfungsi sebagai agen keteraturan sosial yang ditentukan secara ketuhanan. Ini membuat agama kemudian berubah jadi candu yang membius masyarakat dalam suasana ketertindasan mereka akibat kehilangan kesadaran sosialnya. Akan tetapi menurut Durkheim agama mengekspresikan nilai-nilai terdalam yang ada dalam tatanan sosial, mengenang saat-saat yang berarti dalam sejarah dan memproyeksikan gambaran simbiolik mengenai masa depan masyarakat. Agama disisi lain berfungsi sebagai pelindung, dan juga disisi lain berfungsi dalam menilai kondisi sosial saat sekarang dengan mengacu pada gambaran masyarakat ideal dan dengan demikian menumbuhkan pembaharuan.[9]
d.      Agama sebagai konstruksi Sosial
Tradisi masyarakat mengelilingi pohon beringin pada awalnya merupakan suatu budaya, akan tetapi disisipkan nilai islam. Islam yang merupakan wahyu sebagai proses internalisasi kemudian dieksternalisasikan dalam kesadaran dunia sosial. Dengan hal tersebut dalam berfungsi pemelihara dunia dan yang paling penting adalah pembangun dunia.
e.       Agama sebagai simbiolis
Semua tindakan manusia umumnya melibatkan simbiolisme. Oleh karena itu manusia bukan hanya animal rationale, tetapi juga homo simbiolicus. Menurut Mircea Eliade bahwa simbol merupakan cara pengenalan yang bersifat khas religius.
Fungsi simbol-simbol yang ada dalam upacara adalah sebagai alat komunikasi dan menyuarakan pesan-pesan agama dan kebudayaan yang dimilikinya, khususnya yang yang berkaitan dengan etos dan pandangan hidup, sesuai dengan maksud yang ingin dicapai dalam upacara tersebut. Simbol itu digunakan manusia untuk menghubungkannya dengan sesuatu yang sakral dan transnden tersebut.
Selain itu simbol itu juga dipandang sebagai cara yang paling efektif guna memperat persatuan diantara para pemeluk agama di dunia ini. Namun, simbol bukanlah sekedar cerminan realitas obyektif pemersatu agama akan tetapi, ia pun mengungkapkan sesuatu yang lebih pokok dan lebih mendasar.[10]
Masayarkat diikat oleh sistem simbol yang umum. Sistem simbol itu akan berpusat pada martabat manusia sebagai pribadi, kesejahteraan umum, dan norma-norma etik yang selaras dengan dengan karakteristik masyarakat itu sendiri.
Dalam tradisi mengelilingi pohon ini simbol berupa tindakan, yaitu mengelilingi pohon sebanyak tiga kali. Kemudian berupa benda-benda, yaitu pohon yang sekarang ini sudah generasi ke III setelah terakhir sekitar tahun 1997 pohon yang menjulang tinggi di tengah-tengah kampung.[11] Pohon beringin ini telah diberi pagar jeruji besi dangan pintu masuk di sisi selatan.[12] Adapun bacaan yang digunakan adalah bacaan dalam Islam seperti Syahadat dan alfatihah. Dalam hal ini antara budaya tradisi dan agama menjadi satu kemudian membentuk simbol yang disepakati oleh masayrakat.
3.      Teori Konflik
Menurut Weber melihat konflik yang tak terhindarkan antara agama dan modernitas dan meramalkan keunggulan kesadaran manusia modern terhadap agama. Konflik yang terjadi adalah tradisi mengelilingi pohon yang disispkan nilai Islami dianggap melanggar. Karena adanya masayarakat yang berfikir secara modern bahwa dengan mengelilingi pohon yang merupakan benda yang tidak memiliki kekutan merupakan hal yang sia-sia. Akan tetapi ritual itu tidak bisa dihilangkan karena sudah menjadi tradisi dalam masayarakat. 
B.     Pandangan ahli Theolog terhadap tradisi mengelilingi pohon beringin Seyagen, Yogyakarta
Menurut ahli theolog tradisi mngelilingi pohon untuk calon pengantin merupakan sesuatu yang menyalahi aturan. Dan akan dibalas dengan dosa. Karena perbuatan tersebut merupakan salah satu perbuatan syirik. Karena menganggap ada sesuatu yang memiliki kekuatan selain Allah. Dan musyrik merupakan salah satu dosa yang terbesar sebagai mana dalam Q. S an-nisa (4/48)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

BAB III
KESIMPULAN
            Tradisi mengelilingi pohon beringin untuk calon pengantin di dusun Ningo, Seyagen, Yogyakarta apabila dilihat dari segi sosio-antropologi dengan beberapa teori maka akan menghasilkan beberapa pemahaman
            Menurut teori revolusi, tradisi tersebut merupakan tradisi yang awalnya dilakukan oleh seorang yang dianggap berpengaruh dalam desa tersebut adalah Mbah Bregas. Kemudian dilakukan dialkukan secara turun temurun dan membentuk sebuah tradisi. Kemudian tradisi itu berkembang dengan disisipkannya nilai islami
            Menurut teori funsionalis, tradisi ini berfungsi sebagai perekat masayarakat, alat legitimasi kelompok tertentu, motif dalam bertindak, simbol dalam beragama, dan menkontruksi dunia.
Menurut teori konflik, tradisi ini mengalami simpang siur karena adanya masayarakat modern yang berfikir rasional sehingga menggap tradisi ini salah, walaupun telah disepkati oleh seluruh masyarakat.
Sedangkan menurut pandangan theologis dengan nyata bahwa Tradisi mengelilingi pohon beringin untuk calon pengantin di dusun Ningo, Seyagen, Yogyakarta merupakan sesuatu yang salah dan telah menyalahi Islam sebagaimana yang tercantum dalam Q. S an-nisa (4/48).













DATA PUSTAKA
Abdullah, Syamsuddin, Agama dan Masyarakat (Pendekatan Sosiologi Agama), Logos Wacana Ilmu, Ciputat:, 1997.
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama,  PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
Soehadha, Moh, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), Bidang Akademik, Yogyakarta,  2008.
Zikri, Khairulla. Course Reader dalam Agama dalam kehidupan manusia, TT.




[1][1] Khairulla Zikri, Course Reader dalam Agama dalam kehidupan manusia, hlm. 10
[2] http://diglib.uinsby.ac.id/896/3/Bab%202 di akses 10 April 2016. hlm 41.
[3] Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat (Pendekatan Sosiologi Agama), (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 31.
[4] http://diglib.uinsby.ac.id/896/3/Bab%202 di akses 10 April 2016, hlm. 42-43
[5] Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), (Yogyakarta: Bidang Akademik, 2008), hlm. 18
[6] Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 22.
[7] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 122
[9] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hlm. 123
[10] http://diglib.uinsby.ac.id/896/3/Bab%202 di akses 10 April 2016, hlm 43-44.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

dinasti abbasiyah dan perkembangan hadis

Ilmu Hadis" Tekstual dan kontekstual hadis menurut Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail"

Resume Buku Islamic Philosophy From Its Origin To The Present